Infrastructur adat Minangkabau


Assalamualaikum w.w. Sanak Jamaludin dan para sanak sa palanta,
Oleh: Dr. Saafroedin BaharBungo Lambuang2
Pemahaman Sanak terhadap Minangkabau tepat sekali. Baik secara kultural maupun secara strukrural, Minangkabau terdiri dari 600 nagari yang berdiri sendiri-sendiri tanpa suatu suprastruktur, bahkan tanpa jejaring (=network) yang memungkinkan suku bangsa ini untuk bekerjasama secara efektif dan efisien. Saya mempunyai kesan bahwa kaum Paderi pun tak membangun suatu ‘central command’ yang mampu merencanakan dan mengendalikan keseluruhan perjuangan mereka. Oleh karena itulah ada para tuanku yang beraliran keras –seperti Tuanku nan Renceh, Tuanku Lelo, dan Tuanku Rao — dan ada tuanku yang beraliran moderat seperti Tuanku nan Tuo dan para pengikutnya. Semuanya berjalan bersisian.
Keadaan tanpa suprastrukur, yang kini disebut sebagai ‘egalitarian’ tersebut tentu ada keuntungan dan kerugiannya. Keuntungannya antara lain sebagai landasan sikap demokratis dan kesetaraan. Kerugiannya antara lain adalah amat susahnya menimbulkan solidaritas, kerjasama, dan kebersamaan dalam menghadapi tantangan dan ancaman bersama.
Dalam penglihatan saya, kultur dan struktur tersebut berpengaruh besar pada psyche orang Minangkabau, bukan hanya dahulu, tetapi juga sampai sekarang ini. Sewaktu saya ikut merancang organisasi LKAAM pada tahun 1966 dan organisasi Gebu Minang pada tahun 1990, pertimbangan tersebut saya sampaikan kepada para tetua yang akan mengambil keputusan. Jika kita amati baik-baik, sesungguhnya LKAAM serta Gebu Minang tersebut bukanlah suatu organisasi yang bersifat ‘top down’, tetapi maksimal hanya merupakan suatu konfederasi, yang khas Minangkabau.
Masalah yang harus kita jawab sekarang adalah: berhadapan dengan perkembangan situasi sekarang ini — namakanlah era globalisasi dengan kultur global dan struktur yang bertumpu pada sistem network — apakah kultur dan struktur tersebut masih bisa menjawab tantangan zaman. Dari berbagai data serta hasil pengamatan para pakar, serta dari demikian banyak tulisan para pemangku adat sendiri, saya menyimpulkan bahwa Minangkabau bukan saja jalan di tempat, tetapi juga mengalami kemunduran. Bp Amir M.S Dt Manggung nan Sati, seotang pengarang buku-buku adat yang ‘prolific’, bahkan memberi judul bukunya: “Adat Minangkabau di tepi Jurang Kehancuran’. Memelas sekali.
Walau memang mengalami kemunduran hebat, namun saya tidak –atau belum — sepesimis itu. Masih ada suatu ‘jaring pengaman’ yang menyelamatkan Minangkabau, yaitu suprastruktur NKRI, tempat saya mengabdi sejak tahun 1960, sampai saat ini, baik pada tataran suprastruktur sampai saya pensiun [lagi] tahun 2007 yang lalu,  maupun pada tataran infrastruktur sampai saat ini. Visi saya mengenai Minangkabau adalah “masih ada harapan”, sesuai dengan judul buku saya tahun 2004.
Apa yang saya usahakan sekarang ini adalah sekedar mendorong adanya suatu Kompilasi Hukum ABS SBK, sebagai suatu ‘frame of reference’ bersama yang akan memudahkan warga Minangkabau untuk berkomunikasi satu sama lain. Saya rasa kultur dan struktur Minangkabau yang resisten terhadap suprastruktur apapun, yang sudah berusia ratusan tahun tersebut, akan tetap ada dan adalah hak warga Minangkabau sendiri baik untuk mempertahakannya atau untuk mengubahnya.Bagaimanapun, NKRI sudah ada sebagai suatu suprastruktur, yang menyatukan seluruh nagari itu di bawah kecamatan, kabupaten, dan provinsi. Lagi pula, tokoh-tokoh Minangkabau sendiri ikut membangun dan mempertahakankan NKRI ini [walau antara tahun 1958-1961 ikut memberontak a la kadarnya terhadap Pemerintah Pusat yang dirasakan tak adil].
Jika Sanak ingin mendalami Minangkabau, izinkan saya mengusulkan satu buku yang saya rasa telah menjelaskan Minangkabau secara komprehensif dan akurat, yaitu disertasi Prof Tsyuyoshi Kato, 1982, Matriliny and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca, N.Y.Buku ini telah diterjmahkan ke bahasa Indonesia tahun 2005 yang lalu oleh Dr Gusti Asnan dan Akiko Iwata, dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta.
Wassalam,
Saafroedin Bahar

jamaludin mohyiddin <jmohyiddin@yahoo.com> wrote:

Suatu masalah sosio kultural praktis yang harus kita benahi sebelum kita dapat menyusun political consensus itu adalah bagaimana cara `dan apa forum yang akan kita gunakan, oleh karena dari segi kultur dan struktur Minangkabau tersebut terfragmentasi dalam kl 600 nagari
Pak Saaf,
Idzinkan saya memberi pandangan tentang “bagaimana cara dan apa forum yang akan kita gunakan”. Pandangan ini sudah jelas mencerminkan keterbatasan fahaman saya tentang sejarah dan budaya Minangkabau. Ma’afkan saya sekiranya ada kecacatan dalam mengemukan pandangan ini. Maklumlah saya baru mengenal Minangkabau. Pembetulan fakta sangat sangat saya alu alukan.
Saya mulai memahami satu kenyataan politik Minangkabau. Fahaman kenegaraan/nationhood yang saperti kita semua mengerti dengan kehadiran dan kewujudan suatu political central authority/state authority terutama dalam konteks sistem rupa bangsa/nation state system sebenarnya tidak ada dalam kamus kultur-politik Minangkabau. Yang hanya ada adalah enam ratus wilayah adat yang bernama nagari, Kini, saya juga baru mengerti dengan pandangan A.A. Navis yang menyatakan Minangkabau itu lebeh dikenali sebagai bentuk kebudayaan dan payah sekali di sebut sebagai satu buah negara atau kerajaan dalam pengertaian kerajaan atau negara yang berlansung dalam sejarah. Nagari adalah segala galanya di Alam Minangkabau. Nagari berfungsi sebagai unit asas struktur politik dan pentadbiran Alam Minangkabau. .
Nagari adalah satu social and political construct hasilan pemikiran kultur khusus Minangkabau. Very peculiarly and uniquely Minangkabau. Keunikan pemikiran Minangkabau ini ialah mentiadakan atau tidak membenarkan dan ini di lakukan, mungkin, dengan sengaja, satu ide dan lembaga superstructure yang kita sebut sebagai negara atau kerajaan yang mempunyai kekuasaan pusat. Pusat kekuasaan/locus of power terletak di nagari. Nampaknya Imam Bonjol dan pemuka ugama juga mengerti dan faham nagari sebagai tiang serinya Alam Minangkabau. Tujuan utama beliau dan penyokongnya melancarkan perang paderi bukan membentuk satu kekuasaan pusat berlandaskan superstructure negara Minangkabau. Perkiraan pejuang pejuang Islam Minangkabau ini lebeh ditujukan untuk memperkukuhkan keislaman  adat dahulu. Pemurnian nilai nilai dan amalan amalan Islam mesti di lakukan. Pembetulan semula ajaran Islam tidak boleh di tunda tunda. Oleh kerana adat adalah segala galanya di Alam Minangkabau, dan legitimasi pentadbiran dan penguatkusaan adat terletak di pangkuan negari, maka pengislaman adat boleh diandaikan jalan terbaik meletakkan Islam sebagai Addin ul Islam di Alam Minangkabau baru. Kata kata ABS-SBK ini penyimpulan politis dan kultur baru/a political and cultural binding mechanism antara adat dan nagari. Dengan pengikatan ini sekurang kurang nya enam ratus nagari itu di “satukan” dalam bentuk commonwealth. Pengikatan ini dimeterikan di Bukit Marapalam. Legitimasinya di perkukuhkan dengan persetujuan para pemuka Ugama dan pemuka adat.
Pendekatan Imam Bonjol ini satu ijtihad politik yang berani dan tepat. pada masa itu. Beliau tidak mendekati ide penubuhan state authority Minangkabau. Beliau memahami konsep negara Islam tetapi bukan dalam pengertian nation state. Dalam pengertian nation state sudah pasti central power disamakan dengan negara. Negara meng-diktatkan kesemua hal pentadbiran: a top down and top to bottom paradigm of regulation and regimentation. Oleh kerana struktur Alam Minangkabau itu dari down up dan bottom and upward, bukan dalam bentuk pyramid, maka dalam pemikiran Imam Bonjol meletakkan pengislaman dan keislaman adat sekali gus mengukuhkan nagari. Down up dan bottom and upward ini selari dan serasi dengan sejarah shari’ah dalam membangun masyarakat. Pembangunan infrastruktur kemasyarakatan Islam samaada diperingkat awal maupun di zaman Khulafa al Rashidun dan setrusnya, bermula dan berakhir di Syari’ah. Syari’ah lebeh berkemampuan dan bukan nya negara, dalam mengatur dan menta’rifkan sifat dan watak masyarakat. Tidak berlebehan kalau saya menyatakan bahwa pendekatan Imam Bonjol ini cukup strategic dan jitu. Mengapakah kesempatan yang ada tidak digunakan sepenuh penuhnya oleh Imam Bonjol untuk, sekurang kurang nya, membuat beberapa perumusan yang agak terperinci, masih menjadi satu tanda tanya pada saya.  
Military defeat perang Paderi ditangan penjajah Belanda banyak menjejas pelaksanaan dan penguat-kuasaan ABS-SBK di nagari. Banyak kelompok, didalam dan diluar Alam Minangkabau, mengambil kesempatan dari kekalahan perang Paderi ini samaada melunakkan asas keislaman yang ada dalam ABS-SBK atau mentiadakan usaha usaha lanjutan memperkukuhkan dan memperincikan ABS-SBK. Selama 170 tahun ABS-SBK lebeh bersifat slogan. Usaha yang bermakna/substantive dan resmi nampaknya tidak begitu di ambil perhatian. Policy formulation untuk perincian ABS-SBK tidak mendapat sambutan dari pemuka adat. ABS-SBK hanya wujud dalam wacana dalam penulisan penulisan ulamak. Ada semacam suasana gencatan senjata atau stalemate di antara pehak ulamak dan pemuka adat. Hinggakan sekarang.
 
Di pasca perang Paderi, penjajah Belanda mentadbir wilayah Minangkabau secara tidak lansung/indirect administration. Sefaham saya Belanda pun tidak mahu mengwujudkan superstructure negara yang secara lansung mengikat dan mentadbir enam ratus nagari. Saya masih belum mempunyai bahan yang menyatakan ada semacam satu kesadaran dikalangan pejuang dan pemikir Minangkabau semenjak 170 tahun dahulu, terutama dalam membuat perlawanan terhadap penjajahan Belanda, atas keperluan/necessity mengwujudkan superstructure negara mentadbir wilayah Minangkabau. Keperluan ini, diantara lainnya, bertujuan membenteng pertahanan wilayah Minangkabau.
Satu satu sa’at nya lembaga superstructure dalam pengertian negara menyatukan wilayah Minangkabau mungkin terwujud apabila Minangkabau menyertai Republik Indonesia. Propinsi Sumatra Tengah diciptakan, kemudian menyusul yang lebeh kecil yang di namakan Propinsi Sumatra Barat. Kesemua lembaga yang berhubungan dengan Propinsi di kuat-kuasakan dan diterapkan di wilayah Minang.
Sekarang ini masyarakat Minang di Ranah berhadapan dengan dualisme pentadbiran menguat-kuasakan hukum hakam dan nilai dikalangan mereka. Di satu pehak struktur Propinsi yang berasaskan amalan amalan electoral democracy dan di satu pehak yang lain struktur nagari yang lebeh mengarah ke culture centric. Pengikatan Islam dalam struktur Propinsi tidak sekukuh yang ada dalam nagari yang sayugia nya tertakluk kepada ABS-SBK. Landasan Propinsi lebeh kepada pentadbiran warga Sumatra Barat dimana warga Minangkabau mempunyai suara terbanyak/majority, manakala landasan nagari ke warga Minangkabau dan yang mengiktiraf amalan adat.
Persoalan kini ialah adakah mahu diteruskan dualisme pentadbiran ini atau lambat laun akan ada satu penyelesaian muktamat tentang dualisme ini. Yang jelas sekali, kalau di teruskan dualisme ini ianya akan menjemput persaingan yang bernatijahkan yang kurang sehat dan akan unnecessarily melelahkan. Kalau bersetuju dengan penerusannya, masyarakat Minangkabau akan membentuk dan merumuskan satu rangka yang dapat mengakomodasikan unsur unsur yang terdapat dalam struktur Propinsi dan nagari. Bagaimana bentuk jalan menengah ini adalah hak politis mencerminkan struktur etnis Minangkabau.
Kompilasi ABS-SBK nanti, dalam pandangan saya, wajar sekali memecahkan persoalan dualisme pentadbiran ini. Disini, tidak lah berlebihan kalau kita menyatakan bahwa pemecahan persoalan ini adalah hak kewajiban masyarakat Minangkabau. Adakah pemecahan persoalan ini satu yang mustahak dan tanpanya akan menggangu penyempurnaan kompilsasi ABS-SBK, wallah hu alam, saya tidak tahu.
Kalau lah dualisme pentadbiran ini diteruskan, maka payah sekali Minangkabau kini mendapatkan satu political consensus yang mencerminkan kesefakatan seluruh masyarakat Minang dalam merestui ABS-SBK baru.
Saya setuju dengan memulakan kompilasi ABS-SBK. Saya sangat bersetuju diwujudkan satu tim kearah mengkompilasi ini. Insya’Allah, kita semua akan menyaksikan pembentangan draf nya. Mudah mudahan Allah SWT memberi kekuatan kepada drafting team dan kita semua. Amin, amin ya Rabb ul ‘Alamin

Pulau Sikuai, Paradise in The West Coast Sumatra


Sikuai, 20 Desember 2004 00:10

DI tahun 1960-an, biduan terkenal Erni Djohan pernah terkenal dengan lagunya, Teluk Bayur. Saat dibuai lagu itu, sebelumnya saya tidak pernah membayangkan seperti apa keindahan Teluk Bayur. Minggu lalu, saya diajak klien ke kota Padang untuk sebuah pertemuan.

Kebetulan pertemuan itu diadakan disebuah pulau kecil yang letaknya tidak jauh dari Teluk Bayur. Dalam perjalanan menuju Pelabuhan Bungus, saya terkagum-kagum oleh keindahan alam di sekeliling saya. Luar biasa.

Dari Bungus kami naik speed-boat menuju Pulau Sikuai. Jaraknya hanya sekitar 30 menit. Di pulau seluas 40 hektare itu terdapat resor yang memiliki 53 bungalo sederhana, dan dikelola oleh Grup Pusako. Turun dari kapal, kami disambut dengan welcome drink, air kelapa muda. Rasanya segar dan manis sekali. Wah, kejutan lagi.

Rupanya pulau tersebut memiliki pohon kelapa cukup banyak. Pulau Sikuai masih tampak sangat asri dan bersih, serta memiliki hutan dan alam yang belum terusik. Turis yang berkunjung ke sana masih terbilang sangat sedikit.

Di tengah pulau ada perbukitan kecil, yang di puncaknya ada sebidang tanah lapang, dan diberi nama Sunset Plaza. Di sini, setiap sore Anda bisa menonton matahari tenggelam. Sungguh romantis.

Menjelang tengah malam, saya sempat berjalan-jalan di tepi pantai. Desir lembut suara ombak menjadi musik alam yang menyejukkan jiwa. Pikiran saya melayang dalam echo suara Erni Djohan melantunkan lagu Teluk Bayur yang merdu menawan itu. Terasa ada kedamaian yang menyulut jiwa saya. Sebelum tidur, saya berdoa mensyukuri rahmat Tuhan Yang Maha Esa, atas tanah air yang begitu elok, indah, dan kaya sumber alam ini.

Keesokan paginya, sehabis sarapan, saya sempat bertemu dengan pengurus dan manajemen resor itu. Ia minta saya membantu mempromosikan Sikuai kepada teman-teman. Konon, ialah yang membangun Sikuai hingga bisa dinikmati seperti sekarang ini. Beberapa tahun lalu, Sikuai sempat merana di tangan manajemen yang berbeda. Saat itu, Sikuai terabaikan dan hanya dijadikan objek eksploitasi.

Kebanyakan objek wisata di Indonesia memiliki masalah yang sama. Sebuah objek wisata seindah Sikuai memerlukan proteksi. Pengelolanya harus pula seorang pencinta lingkungan yang paham keseimbangan, dan tahu menjaga keasrian lingkungan. Objek wisata yang terlampau terkenal, dan terlalu banyak dikunjungi turis, bisa kehilangan daya dukung lingkungannya.

Barangkali objek wisata Sikuai perlu diberi pagar. Misalnya berupa harga yang lebih mahal agar jumlah wisatawan dapat tersaring. Tapi, kalau jumlah pengunjung terbatas, pendapatan pengelola juga terbatas. Jadi serba susah.

Objek wisata seindah Sikuai juga sulit bertahan hanya dengan mengandalkan keindahan alam. Ia memerlukan kombinasi antara kenyamanan, makan enak, dan atraksi lainnya. Perlu kelengkapan produk yang terus berevolusi, sehingga mampu memberikan pengalaman tak terlupakan kepada pengunjungnya.

Saya prihatin dengan Sikuai. Menurut pengelolanya, ia masih butuh promosi. Namun saya tidak rela pula kalau lingkungan di sekitar Sikuai rusak. Kadang-kadang pemasaran memerlukan keseimbangan antara keuntungan dan idealisme. Yang berbahaya apabila pemasaran dirasuk nafsu serakah.

Seorang pemasar sejati mirip seorang petani. Ia harus tahu manajemen pertanian, seperti manajemen tanah, jenis tanaman yang harus ditanam, sekaligus memelihara tanaman hingga bisa berbuah baik saat panen. Di lain pihak, petani sejati harus tahu pula membaca tanda-tanda zaman. Misalnya masa tanam, siklus musim, dan perubahan cuaca.

Dengan kelengkapan persyaratan seperti itu, maka pemasaran bukan semata urusan laris dan terkenal. Seorang pemasar sejati juga harus memiliki nurani.

Kafi Kurnia
peka@indo.net.id

[Intrik, Gatra Nomor 6 beredar Jumat, 17 Desember 2004]