Melayu Minangkabau


Oleh Arman Bahar Piliang

Sejarah Melayu (kuno) Jambi jauh lebih lengkap dan jauh lebih tua ketimbang sejarah Melayu Minangkabau
Bahkan pada sejarah Melayu Jambi telah banyak diketemukan situs2 purbakala yang dapat meng-ungkapkan periode sejarahnya-nya dan ini diperkuat dengan adanya sumber2 dari luar terutama dari Cina
Situs2 yang ada di Sumbar terutama Pagaruyuang lingkup sejarahnya berada pada kurun Adityawarman sekitar tahun 1300an
Memang ada juga sih yang diperkirakan lebih tua seperti Batu Batikam Dt. Perpatiah Nan Sabatang dan Kubu Rajo di Limo Kaum Batusangkar namun situs ini tidak memperlihatkan tarikh yang dapat mengungkap nilai sejarahnya, demikian pula dengan keberadaan Candi Muara Takus diperbatasan Sumbar Riau, belum lagi keberadaan ratusan batu Menhir di Balubuih Kabupaten 50Kota sama belum ada ahli sejarah yang sanggup mengungkapnya
Kerajaan Melayu (kuno) Jambi adalah termasuk tiga kerajaan Hindu kuno dinusantara disamping kerajaan Kutai Kartanegara di Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa Barat, ketiga kerajaan ini berada dibawah kurun abad ke5 masehi
Dipedalaman Sumatera ini kerajaan2 itu muncul silih berganti yang diawali dengan kerajaan Kantoli atau Kuntala hingga abad ke4 kemudian muncul kerajaan Melayu (kuno) Jambi hingga abad ke7 dilanjutkan dengan Sriwijaya hingga abad ke12 lalu Damarsraya dan Swarnabhumi Adityawarman abad ke13 yang kemudian memindahkan ibukotanya ke Pagaruyuang hingga kemudian kita sebut Kerajaan Pagaruyung yang belum bernama Minangkabau ketika itu
Menurut arkeolog 2ribuan tahun sebelum masehi ketika zaman megalitikum atau zaman batu besar angkatan pertama rombongan nenek moyang kita yang datang dari Tanah Basa (Asia Muka) memudiki Sungai Kampar hingga kehulu mendarat dinagari 13 Koto Kampar Riau sekarang lalu menyebar dan mendirikan komunitas disekitar Kabupaten 50 Kota tepatnya di nagari2 Koto Nan Godang, Mahek, Balubuih, Koto Tinggi, Ampang dan sekitarnya yang ditunjuk-kan dengan adanya Menhir atau Batu Tagak yang digunakan para nenek moyang kita dahulu sebagai tempat2 ritual atau pemujaan maupun musyawarah lainnya
Rombongan nenek moyang ini tentu tidak sekali itu saja yang datang kesini tentu disusul rombongan2 lain di-abad2 berikutnya dengan budaya dan agama kepercayaan yang berbeda pula terlebih setelah daerah subur ini banyak menghasilkan komoditi yang sangat dibutuhkan dan dicari seperti rempah2 dan emas
Selanjutnya 500an tahun sebelum masehi mendarat lagi rombongan besar kehulu sungai Kampar ini mereka menyebar membentuk komunitas2 baru disekitar Gunuang Malelo, Gunuang Bungsu, Pongkai, Binamang, Sibinuang, Batu Basurek, Muaro Mahek, Muaro Takuih dan sekitarnya
Rombongan terbesar berikutnya abad ke6 adalah Dapunta Hyang yang beragama Budha mendarat dihulu sungai Kampar lalu mencari lokasi untuk pendirian sebuah candi sesuai dengan konsep air suci yang mereka yakini, pilihan kemudian jatuh disekitar daerah pertemuan 2 buah sungai yaitu sungai Kampar Kanan dan sungai Batang Mahek (Minanga Kamwar) yang dianggap paling suci dan bayangan Walacakra tidak panjang dan tidak pendek artinya ketika tepat tengah hari tidak ada bayang2 badan artinya lokasi yang dipilih Dapunta Hyang adalah tepat dilalui garis khatulistiwa lokasi Candi Muara Takus sekarang
Ber-tahun2 setelah ketenangan candi Muara Takus mulai terusik dengan kedatangan penganut Budha sekte lain hingga Dapunta Hyang yang cinta damai ini mengalah mencari lokasi lain
Dengan mengedarai berpuluh ekor gajah setelah mengarungi lembah dan jajaran Bukit Barisan selama ber-minggu2 akhir pilihan jatuh kesebuah puncak gunung yang terlihat dari kejauhan (sagadang talua itiak) sebuah puncak harapan yang diyakini paling dekat ke Nirwana yang sekarang kita kenal sebagai Gunuang Marapi
Dapunta Hyang memilih Puncak Gunuang Marapi sebagai tempat ritual pemujaan yang suci dan diyakini paling dekat ke Nirwana dan dilereng gunung inilah pengikut Dapunta Hyang mendirikan komunitas dan perkampungan yang aman dan nyaman
Dimano titiak palito
Dibalaik telong nan berapi
Dimano asa mulo niniak kito
Iolah dari puncak gunuang Marapi
Setelah komunitas Puncak dan lereng Gunuang Marapi tertata Dapunta Hyang dengan rombongan kecil kembali ke Minanga Kamwar Candi Muara Takus dan setelah konsolidasi dengan rombongan besarnya memulai perjalanan sebagaimana Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M yang dikaitkan dengan keberangkatan Dapunta Hyang dengan balatentaranya dari gunung Merapi melalui Minanga Kamwar atau Minang Tamwan Candi Muara Takus terus ke Pulau Punjung Sungai Dareh dekat perbatasan Propinsi Jambi sekarang dalam rangka memenuhi niat perjalanan suci menyebarkan agama Budha yang kemudian mendirikan kerajaan Sriwijaya yang mulanya berkedudukan ditepi Sungai Batanghari yang kelak pindah dan berkembang pesat dimuara Sungai Musi Palembang sekarang
Wasalam abp

Gulai Itiak (Gule Itik)


Bahan :
• Seekor Itik Air/itik sarati yg masih muda ( yang sudah dipotong dan dibakar utk menghilangkan bulu2 halusnya dan keluar minyaknya, kemudian dibersihkan dengan air panas)
• 1 Batang Serai
• 100 gr Jahe dan Lengkuas halus
• 10 siung Bawang Merah haluskan,
• 8 siung Bawang Putih haluskan,
• 250 gr Cabe ijo ulek (saya pake cabe merah)
• 1 sdt Merica bubuk,
• Daun Jeruk dan Daun Salam,
• 1 sdm Ketumbar bubuk,
• Garam secukupnya,
• Minyak goreng untuk menumis bumbu
• Air secukupnya
Sayuran :
• 250 gr Kacang Panjang
• 250 gr Kacang Merah yang sudah direbus

Cara Membuat :
• Tumis semua bawang, jahe dan lengkuas, masukkan daun-daunan (daun kunyit, salam dan serai) sampai baunya harum.
• Kemudian masukkan cabe merah yang sudah diulek, merica yang sudah dihaluskan, ketumbar, kemudian ditumis sampai hilang bau sangit cabenya.
• Setelah itu masukkan itik yang telah dipotong-potong, lalu tambahkan air segelas.
• Jika airnya hampir menyusut, masukan kacang panjang dan kacang merah.
• Selama memasaknya, apinya jangan terlalu besar dan sesekali diaduk sampai dagingnya empuk (kira-kira 30 menit).

Itiak Balado adalau Gulai itik dengan cabai hijau

Itiak Balado adalau Gulai itik dengan cabai hijau

Sikuai Island Tariff 2009


ROOM RATE TAHUN 2009
 DELUXE
 Rp. 800.000,- / Kamar / Malam { 2 orang / kamar }
 Rp. 350.000,- / Orang / Malam { 3 orang / kamar }
 Rp. 325.000,- / Orang / Malam { 4 orang / kamar }
 Rp. 300.000,- / Orang / Malam { 5 orang / kamar }

 GARDEN VIEW
 Rp. 900.000,- / Kamar / Malam { 2 orang / kamar }
 Rp. 375.000,- / Orang / Malam { 3 orang / kamar }
 Rp. 350.000,- / Orang / Malam { 4 orang / kamar }
 Rp. 325.000,- / Orang / Malam { 5 orang / kamar }

 SEA VIEW
 Rp. 1.000.000,- / Kamar / Malam { 2 orang / kamar }
 Rp. 400.000,- / Orang / Malam { 3 orang / kamar }
 Rp. 375.000,- / Orang / Malam { 4 orang / kamar }
 Rp. 350.000,- / Orang / Malam { 5 orang / kamar }

 SUNSET ROOM
 Rp. 2.000.000,- / Kamar / Malam { 2 orang / kamar }

 SUITE ROOM
 Rp. 4.000.000,- / Kamar / Malam { 6 Dewasa & 4 Balita }

 EXTRA BED Rp. 300.000,- / Bh / Malam

Harga di atas sudah termasuk :
o Boat PP & Insurance
o Breakfast
o Untuk Sunset Room diberikan fasilitas tambahan 1 buah motor

ONE DAY TOUR
• Rp. 150.000,- / Orang { Hari Minggu dan Libur Nasional }
• Rp. 300.000,- / Orang { Hari Biasa / Senin – Sabtu }

Harga sudah termasuk :
o Boat PP & Insurance
o Nasi Bungkus

Rumah Pusi


Di jalan menanjak antara Padangpanjang-Bukittinggi, Sumatra Barat, saya dan novelis Ahmad Tohari menjadi sastrawan tamu selama satu bulan di Rumah Puisi yang didirikan penyair Taufiq Ismail dan istrinya, Ati Ismail. Sampai hari ini saya telah sepuluh hari berada di antara Gunung Singgalang dan Gunung Merapi, tempat kabut dan hawa dingin menyelimuti kami setiap hari. Tempat kami selalu disapa desir daun-daun bambu, dan di depan sana ada petani-petani sayur yang tekun memakmurkan bumi.

Kami berdua benar-benar berada di tempat yang indah. Memandang ke Gunung Singgalang yang gagah, di kakinya tampak nagari Pandai Sikek, tempat orang Minangkabau menenun kain songket yang indah. Bahkan azan subuh di desa itu bagai diantar angin ke Rumah Puisi.

Sedangkan memandang ke Gunung Merapi tampak sawah-sawah yang bertingkat-tingkat dan rumah-rumah para petani yang kalau malam hari lampu-lampunya berkelap-kelip mewakili bintang-bintang yang selalu ditutupi awan. Inilah wilayah yang selalu dilewati Hamka, Marah Rusli, Noer Sutan Iskandar. Haji Agus Salim, Muhamamd Yamin, Muhammad Hatta, Rasuna Said, Rohana Kudus, Tan Malaka, seratus tahun yang lalu. Saya dan Ahmad Tohari seperti menapaktilasi kelincahan masa kecil mereka yang cerdas, berpikir lincah, dan tidak mudah menyerah, sehingga namanya sampai sekarang tetap dibaca oleh sejarah dan jadi kenangan yang mengesankan.

Rumah Puisi sendiri adalah bangunan berbentuk sanggar, ada perpustakaan dengan 7.000 buku, ada ruang pelatihan untuk guru-guru sastra sekaligus ruang berdialog tentang puisi, sastra, dan yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis. Jadi, istilah ”rumah puisi” di sini tidak hanya untuk kegiatan perpuisian saja, tapi untuk seluruh yang berkaitan dengan sastra. Pinjam istilah Taufiq Ismail, ”puisi” di sini menjadi kata sifat: bersama dan payung dari seluruh karya sastra.

Yang telah berlangsung selama sepuluh hari kami di sana adalah pelatihan guru bahasa dan sastra Indonesia. Kegiatan ini telah dilakukan oleh Taufiq Ismail dan para sastrawan untuk duduk bersama para guru sastra. Bagaimana mengajar sastra yang menarik kepada anak didik, bagaimana menumbuhkan minat baca dan memotivasi anak-anak untuk senang menulis.

Kegiatan yang lain ialah apresiasi sastra siswa, agar anak didik bisa menyenangi karya sastra, bisa mengapresiasi dengan baik, bahkan menumbuhkan minat menulis agar mereka menjadi generasi penerus dalam perkembangan sastra Indonesia.

Apa yang dilakukan Taufiq Ismail selama kurang lebih 10 tahun terakhir berkeliling Indonesia memasyarakatkan sastra itu sekarang coba dicarikan tempat yang permanen. Upaya ini untuk lebih memberi harkat kepada sastra karena sastra sesungguhnya menjadi salah satu ruh dari tulang punggung kebudayaan. Kegiatan yang telah berlangsung di Rumah Puisi benar-benar mendapat sambutan hangat dari guru-guru sastra dan para siswa penggemar sastra. Mereka berdatangan dari seluruh Sumatra Barat untuk bertemu sastrawan-sastrawan, membaca puisi, menceritakan proses kreatifnya. Bagaimana riwayat perjuangannya serta liku-liku hidupnya sehingga menjadi sastrawan. Kemudian guru-guru sastra atau siswa, bertanya tentang puisi, novel, dan kiat menjadi penulis atau sastrawan.

Suasana sengaja dibuat akrab, sehingga tidak terkesan sebagai sebuah pelatihan, karena sastrawan yang tampil tidak berpretensi sebagai pengajar atau penatar. Bahkan kegiatan untuk para siswa pun dikemas dalam suasana penuh persahabatan duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.

Selebihnya, sebagai sastrawan tamu, saya dan Ahmad Tohari, dipersilahkan untuk berkeliling Sumatra Barat, berintegrasi dengan masyarakat, mengunjungi tempat lahir Buya Hamka, Bung Hatta, Haji Agus Salim, dan lain-lain, dan kemudian menuliskannya.

Saya dan Ahmad Tohari diundang ke Ranah Minang, merasa mendapat kehormatan. Kegiatan sastra yang kami lakukan selama ini telah mengantarkan kami ke wilayah Indonesia yang indah, dengan keramahan Danau Singkarak dan Danau Maninjau, serta Istana Pagaruyung yang legendaris.

Tak mungkin kami lupakan bahwa kami telah menjadi tamu di jantung puisi Ranah Minang, di sebuah desa bernama Aie Angek. (*)
Penulis : D.Zawawi Imron [ Minggu, 28 Desember 2008 ] Jawa Pos

Pesta Tabuik Awal Sukses Wisata Sumbar (2009)


Tulisan ini dikutip dari PADANG–MI: Pesta tradisi budaya Tabuik Pariaman yang puncaknya digelar di Pantai Pariaman akan menjadi langkah awal kesuksesan Sumatra Barat dalam menyambut dan menggelar berbagai kegiatan wisata selama 2009. (kali ini pada Minggu (11/1/9))

Pesta Tabuik adalah tradisi tahunan masyarakat Pariaman dalam memeriahkan tahun baru Islam dan digelar selama 10 hari dengan puncaknya disaat matahari terbenam, kedua tabuik dibuang kelaut dibawah suatu upacara yang meriah.

Selama 10 hari, dua buah tabuik dibuat anak Nagari Pariaman dan selama itu pula pada malam harinya digelar aneka atraksi budaya Minangkabau.

Tabuik berbentuk bangunan bertingkat tiga terbuat dari kayu, rotan, dan bambu dengan tinggi mencapai 10 meter dan berat sekitar 500 kilogram. Bagian bawah Tabuik berbentuk badan seekor kuda besar bersayap lebar dan berkepala wanita cantik berjilbab.

Kuda gemuk itu dibuat dari rotan dan bambu dengan dilapisi kain beludru halus warna hitam dan pada empat kakinya terdapat gambar kalajengking menghadap ke atas. Kuda tersebut merupakan simbol kendaraan Bouraq yang dalam cerita zaman dulu adalah kendaraan yang memiliki kemampuan terbang secepat kilat.

Pada bagian tengah Tabuik berbentuk gapura petak yang ukurannya makin ke atas makin besar dengan dibalut kain beludru dan kertas hias aneka warna yang ditempelkan dengan motif ukiran khas Minangkabau.

Di bagian bawah dan atas gapura ditancapkan bungo salapan (delapan bunga) berbentuk payung dengan dasar kertas warna bermotif ukiran atau batik.

Pada bagian puncak Tabuik berbentuk payung besar dibalut kain beludru dan kertas hias yang juga bermotif ukiran. Di atas payung ditancapkan patung burung merpati putih.

Di kaki Tabuik terdapat empat kayu balok bersilang dengan panjang masing-masing balok sekitar 10 meter. Balok-balok itu digunakan untuk menggotong dan menghoyak Tabuik yang dilakukan sekitar 50 orang dewasa.

Tabuik dibuat oleh dua kelompok masyarakat Pariaman, yakni kelompok Pasar dan kelompok Subarang. Tabuik dibuat di rumah Tabuik secara bersama-sama dengan melibatkan para ahli budaya dengan biaya mencapai puluhan juta rupiah untuk satu Tabuik.

Setelah Tabuik siap, pada hari puncak digotong dan diarak di jalan-jalan utama dengan diiringi dentuman alat musik tambur dan atraksi musik gandang tasa yang disaksikan hingga ratusan ribu massa yang memadati tepi jalan di Kota Pariaman.

Dua tabuik kemudian bertemu di Pantai Gandoriah Pariaman, lalu kembali dihoyak disaksikan ratusan ribu massa. Menjelang matahari terbenan, dua tabuik dibuang ke laut.

Menurut Syahril Aminuddin, pesta tabik telah menjadi kebanggan warga Pariaman dan masuk dalam kalender wisata tahunan Sumbar yang mampu menarik kunjungan ratusan ribu wisataan, baik domestik mapun mancanegara setiap tahun.

Kehadiran ratusan ribu pengunjung memberikan keuntungan ekonomi bagi Pariaman dan masyarakatnya, untuk itu sangat diharapkan peran serta masyarakat kota untuk ikut mensukseskannya dan pemerintah daerah.
(Ant/OL-01)