RN: Ekspedisi Kopassus-Jawa Pos di Gunung Singgalang: 16 Tahun Hilang, Burung itu Muncul Lagi


Oleh : Fajar Rillah Vesky

http://padang-today.com/?mod=feature&today=detil&id=386
Ekspedisi Kopassus-Jawa Pos di Gunung Singgalang: 16 Tahun Hilang, Burung itu Muncul Lagi

Senin, 04/04/2011 – 11:48 WIB Padang Ekspres 149 klik
Peluh Sersan Satu Wahyudi menyembur seperti mata air. Seragam loreng yang membungkus tubuhnya terlihat mulai lembab. Tapi, Wahyudi sama sekali tidak tertarik untuk mengganti seragam berlogo Komando Pasukan Khusus alias Kopassus tersebut.
Alih-alih mengganti seragamnya, Wahyudi yang tercatat sebagai pemegang Nomor Register Prajurit 21060241570386 21040135330983 ini, malah bertambah semangat memasang perangkap burung di Gunung Singgalang.
Perangkap dipasang Wahyudi bersama Ali, mahasiswa pencinta alam dari Universitas Andalas Padang, Rabu (23/3) lalu. Mereka memasang perangkap pada sejumlah pohon yang tumbuh di kordinat 4683-5707 Gunung Singgalang atau sekitar 2.140 meter dari permukaan laut.
Sebelum perangkap burung dipasang, Wahyudi yang mendaki Gunung bersama 8 prajurit TNI plus mahasiswa Unand dan ITB, sempat mendengar suara aneh seperti siulan. Awalnya, suara yang didengar sembilan anggota Tim Ekspedisi Bukit Barisan 2011 dari Unit Flora-Fauna ini, sayup-sayup sampai di telinga. Tapi lambat launya, bunyinya malah semakin membahana.
“Siiiiiitttt, Siiiiiit, Siiiiit, begitu suara yang kami dengar. Persis seperti orang sedang bersiul,” cerita Wahyudi kepada Kordinator Ekspedisi Bukit Barisan Wilayah Sumbar Mayor Inf Benny Rahadian Chaniago dan wartawan Padang Ekspresyang mengikuti ekspedisi, Sabtu (2/4) lalu.
Setelah mendengar suara seperti siulan tersebut, anggota Unit Flora-Fauna dari Unand dan ITB berbisik kepada Wahyudi. Mereka menyebut, suara yang didengar tadi adalah kicauan seekor burung endemik pulau Sumatera. Makanya, tanpa menunggu lama, Wahyudi langsung mengajak Ali untuk memasang perangkap burung.
Perangkap mereka pasang bukan untuk mencelakai burung. Bukan pula untuk menangkap atau menjual secara bebas. Tapi semata-mata untuk memastikan spesies burung yang berkicau. Sayang, menangkap burung di alam bebas bukanlah pekerjaan gampang.
Empat hari Wahyudi bersama anggota tim ekspedisi memasang perangkap, tak seekor pun burung yang berhasil ditangkap. Alhasil, Minggu (27/3) lalu, sekitar pukul 08.00 WIB, mereka memutuskan bertolak menuju puncak Gunung Singgalang.
Ditemani hangatnya cahaya mentari, perjalanan tim ekspedisi terasa menentramkan hati. Apalagi dari ketinggian, mereka bisa menyaksikan Kota Bukittinggi. Meski hanya dua pertiga wilayah yang terlihat secara jelas, karena sisanya tertutup kabup, tapi batin mereka puas.
Kepuasan itu semakin bertambah manakala di puncak Gunung Singgalang, tim ekspedisi ditemukan Telaga Dewi. Telaga yang selalu menghimbau-himbau pendaki untuk kembali lagi. Telaga yang konon, tidak pernah dimasuki selembar pun daun-daun kayu.
Di dasar Telaga Dewi itupula, tim ekspedisi melihat sepasang ikan emas tengah bermesraan. Ekor ikan-ikan itu seperti menyuguhkan tarian selamat datang di puncak Singgalang. Sayang, tim tidak bisa berlama-lama menyaksikan indahnya mahakarya Tuhan. Sebab dari kejauahan, kicauan burung seperti siulan manusia kembali terdengar.
Agar kicauan merdu itu tidak hilang lagi, tim memilih turun gunung untuk melihat perangkap yang sudah empat hari dipasang. Ternyata, seekor burung berbulu hitam dan biru mengkilap sudah masuk ke dalam perangkap. Burung berukuran sekitar 25-28 centimeter itu terlihat gelisah sekali. Tiap sebentar mulutnya yang runcing mengeluarkan bunyi: Siiiiiitttt, Siiiiiit, Siiiiit.
Melihat burung yang diintai sudah ketangkap, Unit Flora-Fauna senang tak terkira. Mereka berniat membawa langsung burung itu menuju posko Tim Ekspedisi Bukit Barisan 2011 di kawasan Balingka, Kabupaten Agam. Tapi karena senja sudah datang ditambah kondisi cuara yang buruk, mereka memilih bertahan satu malam lagi di Gunung Singgalang.
Esok harinya atau Senin (28/3), tim Unit Flora-Fauna sampai juga di Posko Ekspedisi Bukit Barisan. Berbekal buku referensi tentang fauna mereka akhinya meyakini, burung yang tertangkap itu bernama Ciung-Mungkal Sumatra alias Cochoa Beccani Salvadori 1879.
Prediksi ini dikuatkan oleh analisa sementara Dr Wilson, pakar fauna dari Fakultas MIPA Unand. Menurut Wilson yang merangkap sebagai Ketua Tim Ahli Fauna Ekspedisi Sumbar, burung Ciung-Mungkal Sumatera adalah burung yang tergolong sangat langka. Burung tersebut mempunyai bentuk unik dan dapat mengeluarkan siulan-siualan khas.
“Terakhir kali, suara burung Ciung-Mungkal Sumatera didengar tahun 1995 oleh seorang peneliti Jerman bernama Simpson. Itupun hanya berupa siulan burung dan penglihatan sekilas ketika burung terbang di Gunung Kerinci. Sedangkan fisik secara dekat, Simpson tak pernah melihatnya,” begitu analisa Wilson.
Masih menurut Wilson, sejak tahun 1995 sampai awal tahun 2011 para peneliti maupun masyarakat tidak pernah mendengar lagi kicauan Ciung-Mungkal Sumatera. Apalagi sampai melihat burung itu terbang di atas angkasa. Makanya, Wilson meyakini penemuan burung yang menghilang selama hampir 16 tahun tersebut merupakan sebuah sejarah baru.
“Kita memperkirakan, curung Ciung-Mungkal Sumatera yang tergolong sangat langka, tertangkap ketika sedang melewati proses hijrah dari satu pulau ke pulau lainnya. Kendati demikian, ini akan terus kita teliti,” ungkap Wilson.
Bukan Cuma Burung
Selain menemukan burung Ciung-Mungka Sumatera, Tim Ekspedisi Bukit Barisan 2011 yang terdiri dari personel Kopassus, Raider, Taipur, Wanadri, akademisi, TV One dan Jawa Pos (Padang Ekspres Grup) juga menemukan sejumlah flora dan fauna unik di Gunung Singggalang. Diantara yang ditemukan itu adalah Begonia Hirtellia (tumbuhan herba berukuran kecil yang daunnya dapat dimakan), Begonia Multangula (tumbuhan herba yang memiliki batangh bertubuh halus),Bulbophyillium SP (sejenis anggrek tropis yang langka).
Tidak itu saja, menurut Mayor Inf Benny Rahadian Chaniago yang memimpin ekspedisi di Gunung Singgalang, pihaknya juga menemukan flora-fauna unik lainnya. Mulai dari Macodes Jamaica, Macodes Petola, Melastoma Velutinosum, Melhotoria Marginata , Nepenthes Singalana, Nephelium Tenuifolium, Paphiopedilum, Spathoglottis, Urophyllum, sampai Abroscopus Superciliaris atau sejenis burung burung berbulu kekuningan.
“Selanjutnya, kita juga mendapati potensi alam yang sangat indah di sekitar Gunung Singgalang. Diantaranya adalah air terjun yang berhadap-hadapan di kawasan Malalak, Kabupaten Agam. Air terjun ini nyaris belum pernah tereksploitasi. Selain itu, Telaga Dewi dipuncak Gunung Singgalang juga masih sangat menawan,” ujar Benny Rahadian Chaniago yang asli putra Pariaman, Sumbar.
Terkait air terjun yang ditemukan di Gunung Singgalang, tim ekspedisi sempat menjajal kederasan air, dengan cara turun dari puncaknya menggunakan seutas tali. Aksi ini benar-benar menciutkan nyali. Tapi anggota Kopasus, Raider, dan Taipur Kostrad sama-sekali tidak takut. Mereka benar-benar layak disebut sebagai pasukan elit TNI Angkatan Darat!
Kendati demikian, bukan berarti pula pasukan elit ini tidak pernah kaget selama melakukan ekspedisi di Gunung Singgalang. Misalnya saja Edi, anggota Kopassus yang ditemui Padang Ekspres Minggu (3/4) siang. Edi mengaku sempat terkejut di Gunung Singgalang, karena berpapasan dengan beruang berekor panjang.
“Seumur-umur baru kali itu saya lihat ada beruang punya ekor panjang. Sayang, hewan itu tidak boleh ditangkap. Kami hanya bisa mengabadikan dengan kamera. Itupun tidak jelas hasilnya, karena resolusi kamera kurang bagus. Walaupun demikian, setelah melihat beruang tersebut, saya semakin takjub dengan keistimewaan Gunung Singgalang. Banyak flora dan fauna unik di sini,” ujar Edi didampingi Unit Humas Tim Ekspedisi Supriyadi.
Hanya saja, rasa takjub yang disimpan Tim Ekspedisi Bukit Barisan 2011 di Gunung Singgalang bercampur pula dengan selaksa kerisauan. Ya, tim memang sangat risau melihat kondisi hutan lindung dan hutan suaka di Gunung Singgalang. Kedua hutan itu, semakin gundul akibat penebangan liar. Beberapa kawasan juga terkelupas dan siap mendatangkan bencana alam.
Bukan itu saja, tanda pembatas hutan lindung, hutan rakyat, dan hutan suaka di Gunung Singgalang juga banyak yang hilang. Kalaupun berhasil ditemukan, kondisi tanda pembatas sudah ditutupi semak belukar dan berkarat dimakan waktu. “Pokoknya, benar-benar memprihatinkanlah,” kata Supriyadi, anggota Kopassus kelahiran Medan, Sumatera Utara.
Walau begitu, tim ekspedisi yang baru satu bulan menginjakkan kaki di Gunung Singgalang tidak patah semangat. Sampai batas akhir ekspedisi Agustus 2011 mendatang, mereka bertekad menjelajahi jengkal demi jengkal gunung yang bertetangga dengan Merapi dan Tandikek tersebut. Sekaligus, menggugah kesadaran masyarakat sekitar gunung, agar sama-sama menjaga ekosistem dan keseimbangan alam. (***)
[ Red/Revdi Iwan Syahputra ]
Ranah bundo memang kaya…..bukan sajo adat budaya, keindahan alam tapi juga flora dan fauna….
Burung Asli Sumatra