Tour de Singkarak dan Kejujuran Kita


Tour de Singkarak
dan Kejujuran Kita

Oleh Syafruddin AL

Bila tidak ada aral melintang, mulai 29 April hingga 4 Mei 2009 mendatang akan digelar helat akbar balap sepeda internasional bertajuk “Tour de Singkarak” dengan empat etape sejauh 459 Km, mulai dari Kota Padang, Bukittinggi, Batusangkar, Sawahlunto, Solok, Singkarak, Danau Kembar (Alahanpanjang) dan kembali ke Singkarak.

Kata Dirjen Pemasaran, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, DR Sapta Nirwandar, Tour de Singkarak adalah event yang memadukan kegiatan olahraga balap sepeda dengan wisata (sport tourism). Melalui balap sepeda, kita ingin ‘menjual’ Singkarak ke dunia luar yang sekaligus akan membawa Kota Padang, Lembah Anai, Sate Mak Syukur (sebagai salah satu wisata kuliner), Kota Wisata Bukittinggi, Kota Budaya Batusangkar, Kota Arang Sawahlunto, Kota Solok, keindangan Danau Diateh dan Danau Dibawah, serta keindahan Danau Singkarak itu sendiri.

Dari Balik Singkarak

Sebagai penggagas, Pak Sapta yang terinspirasi dari kegiatan Festival Singkarak-Danau Kembar tahun lalu itu, sangat antusias dan bangga sekali dengan Tour de Singkarak tersebut. Di samping mengundang sejumlah BUMN, BUMD, swasta nasional dan local untuk turut berpartisipasi, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sendiri menggelontorkan dana yang cukup besar untuk kegiatan yang memperebutkan hadiah totoal sebesar 60 ribu dollar AS tersebut.

Tidak kurang 15 Tim balap sepeda dari mancanegara dan 10 tim dari dalam negeri akan ikut bertarung di Tour de Singkarak. Satu tim rata-rata dengan 10 anggota (6 pembalap dan 4 official). Dengan begitu, akan ada 240 orang (dikurang 1 tim dari Sumbar) yang akan hadir di Ranah Minang sejak 27 April hingga 6 Mei mendatang. Belum termasuk panitia pusat dan rombongan musisi pimpinan Dwiki Darmawan.

Peserta, panitia dan musisi itu memang akan menjadi tamu khusus dengan pelayanan yang khusus pula selama berada di Sumatra Barat. Tetapi, tentu tak sedikit pula jumlah tamu yang datang sebagai penonton dan wisatawan yang dating menyaksikan event pertama yang akan diharapkan nantinya dapat bersaing dengan Tour de Langkawi ini. Mereka bisa saja datang dari Riau, Sumatra Utara, Jambi, Sumsel, Jawa, Singapura, Malaysia, Thailand dan lain sebagainya.

Yang perlu kita pertanyakan, apakah rakyat kita di Sumatra Barat sudah bisa menjadi penerima tamu yang baik? Menjadi bagian dari masyarakat yang sadar wisata? Karena tujuan balap sepeda Tour de Singkarak adalah untuk memperkenalkan Ranah Minang ke dunia internasional, tentu pandangan pertama dan kesan awal itu haruslah menggoda kalau memang daerah kini ingin menjadi destinasi wisata indternasional masa depan.

Sekedar intermezzo saja, beberapa waktu lalu sejumlah orang Minang di rantau ribu di mailinglist (internet) gara-gara rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kanai pangua di sebuah rumah makan di daerah ini. Menurut cerita yang berkembang di internet tersebut, biaya makan 20-an anggota rombongan, bernilai jutaan rupiah, jauh di atas kewajaran. Meski ada yang memberi komentar bahwa si pemilik warung ini mungkin merasa bahwa uang yang akan mereka (rombongan Presiden) bayarkan berasal dari uang rakyat juga, tindakan seperti itu jelas tidak terpuji. Dunia pariwisata penuh dengan standar-standar yang terukur dan teruji.

Hari-hari terakhir, suasanya Bandara Internasional Minangkabau (BIM) juga belum banyak berubah. Gerombolan orang yang menanti tamu yang dating untuk menawarkan jasa angkutan juga masih masih tetap dalam suasana hingar bingar bak di Pasar Raya. Tak ada suasana Ranah Minang dengan alunan musik talempong yang indah. Begitu juga di hotel-hotel, kita juga tak pernah mendengar musik tradisional.

Tarif hotel di Sumatra Barat, menurut banyak orang, juga berada di atas rata-rata hotel sekelas di tempat lain. Penginapan kelas melati pun juga ikut-ikutan menaikkan harga. Bayangkan, beda tarif hotel kelas bintang 4 dengan sebuah wisma kelas melati hanya 90-an ribu rupiah. Di hotel bintang empat kita mendapat sarapan pagi sepuasnya dengan sejumlah menu khas internasional dan tradisional, di hotel melati hanya disuguhi secangkir kopi atau teh manis dan roti panggang saja.

Mengintip Singkarak

Hal ironi lainnya, ketika pekan lalu saya ke Padang menumpang sebuah Taxi dari Jl. Veteran 17 ke Kampus STSI Sospol Imam Bonjol di Jl. Koto Tinggi, sebelah Gubernuran dan kemudian terus ke Bumi Minang, kena cas Rp40.000. Saya tahu persis jarak dari saya mulai naik di Jl. Veteran ke Koto Tinggi dan terus ke Bumi Minang tak lebih dari 5 km. Di Jakarta, naik Taksi di Blok M sampai ke Istana Negara di Monas yang jaraknya lebih dari 8 km, tidak akan lebih dari Rp25.000.

Sebagai daerah yang terus ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai destination unggulan, pembenahan mentalitas masyarakat yang biasa main pangua, jelas merupakan kewajiban kita dan Pemda Sumatra Barat bersama pemerintah kota dan kabupatennya. Karena itu, di samping menggelorakan semangat bermain sepeda yang sedang dilakukan oleh para pejabat dengan memamerkan sepeda barunya, langkah untuk membenahi sisi pelayanan oleh masyarakat yang sering menganggap suatu pesta sebagai ajang mencari keuntungan, harus pula dilakukan dengan sungguh-sungguh. Tour de Singkarang yang digagas pemerintah pusat untuk kepentingan kemajuan Sumatra Barat, jelas menunggu kejujuran Ranah Minang dalam segala hal. Termasuk membehani sisi pelayanan dan kebiasaan main pangua tadi. *